Minggu, 23 Oktober 2011

Aku Terpaksa Menikahinya.....

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!


Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/

Senin, 17 Oktober 2011

Zhang Da, Kisah Seorang Anak Teladan dari Negeri China

Seorang anak di China pada 27 Januari 2006 mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”. Diantara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,4 milyar penduduk China.

Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.




Sejak ia berusia 10 tahun (tahun 2001) anak ini ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan lagi hidup bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan.

Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.

Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.

Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan Papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.

Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui.

Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan.

Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.

Hidup seperti ini ia jalani selama 5 tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. Zhang Da merawat Papanya yang sakit sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya.

Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.

Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli.

Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi / suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa mampu, ia nekat untuk menyuntik papanya sendiri. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah terampil dan ahli menyuntik.

Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara (MC) bertanya kepadanya,






"Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu? Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah?

Besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir.

Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!"



Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, "Sebut saja, mereka bisa membantumu."

Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar ia pun menjawab,

"Aku mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama kembalilah!"

Semua yang hadir pun spontan menitikkan air mata karena terharu. Tidak ada yang menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya?

Mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit? Mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, pasti semua akan membantunya.

Mungkin apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku mau Mama kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.

Kisah di atas bukan saja mengharukan namun juga menimbulkan kekaguman. Seorang anak berusia 10 tahun dapat menjalankan tanggung jawab yang berat selama 5 tahun. Kesulitan hidup telah menempa anak tersebut menjadi sosok anak yang tangguh dan pantang menyerah.

Zhang Da boleh dibilang langka karena sangat berbeda dengan anak-anak modern. Saat ini banyak anak yang segala sesuatunya selalu dimudahkan oleh orang tuanya. Karena alasan sayang, orang tua selalu membantu anaknya, meskipun sang anak sudah mampu melakukannya.Semoga memberi inspirasi

Kado untuk Samuel

Aku meneguk sisa es teh tawar yang masih tersisa di gelasku. Ketika aku masih menikmatinya ekor mataku menangkap sosok anak laki-laki yang memperhatikanku. Matanya menatapku. Sebuah tatapan yang menusuk ke dalam hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku meletakkan gelas yang hanya menyisakan es batu yang masih membeku.

“Bu, anak kecil yang duduk di pinggir jalan itu siapa ya?” tanyaku penasaran kepada pemilik warung sambil memandang anak laki-laki tersebut.

“Ow… Duh, kasihan tuh anak, bang!”

“Kasihan kenapa, bu?”

“Sudah seminggu bapanya meninggal gara-gara sakit. Ibunya sih meninggal pas melahirkan dia. Dia ngga punya keluarga lagi. Sekarang sih dia tidur di mana saja karena di usir dari kontrakan.”

“Begitu ya, bu!”

Selesai membayar es teh tawar yang aku pesan. Aku menghampiri anak laki-laki yang hanya mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki. Entah sudah berapa lama dia tidak mengganti pakaiannya.

Semakin aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak terurus. Dia terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya.

“Nama kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah senyuman.

“Aku lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.

Aku mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.

“Nanti kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan namanya.

“Benar kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”

“Iya. Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”

Aku melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang tersusun rapi tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.

“Namaku Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”

“Dewantara, panggil saja kak Tara!”

Dia mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam perkenalan yang hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika tanganku bersentuhan dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku jarinya.

“Yuk, kita makan.”

“Di mana kak?”

“Tuh ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.

Dengan langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.

Aku hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot. Lahap sekali anak ini makan. Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah tidak tersisa lagi. Sampai menjilat jarinya segala.

“Terima kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.

“Sama-sama,” balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.

**********

Aku manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran dan tumpukan baju di kosku yang hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih terngiang pembicaraan antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.

“Aku panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”

Aku menatapnya dengan keheranan di antara terang yang dipancarkan lilin kecil. Anehkan? Kos yang aku tinggali hanya seratus ribu sebulan. Tanpa listrik dan tanpa kamar mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC umum. Itu pun harus bayar. Suara kereta api yang lewat persis di depan kosku sudah menjadi musik tersendiri bagiku. Kata orang ada harga, ada mutu. Seperti itulah gambaran kos di pinggiran rel kereta api.

“Dulu aku punya koko.”

“Trus koko kamu di mana sekarang?”

Hening. Sunyi. Bisu.

“Koko… Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”

Kembali kesunyian mencekam.

“Ngga apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”

Aku berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”

“Oklah kalau begitu.”

Aku tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.

Karena lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha menutup mataku diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.

**********



“Koko pengen punya toko sendiri,” celotehku ketika mengajaknya ke tempatku bekerja. “Ngga perlu besar, yang penting milik sendiri.”

“Kenapa ngga jadi koki saja?”

“Koki?”

“Iya. Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”

“Kamu lapar?”

“Lapar setengah mati.”

“Tapi uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”

Samuel hanya menatapku.

“Kamu disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”

“Iya ko.”

Aku berlari untuk membeli dua potong pisang goreng. Begitu kembali, mata Samuel berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.

“Ini untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.

“Untuk kamu saja ya!”

“Ngga mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”

Dengan berat hati aku memakannya juga.

Setelah itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko, lalu membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian menutupnya. Gajinya sih cukup untuk bayar kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan biaya transportasi. Tapi beruntung Ko Willy, si empunya toko berbaik hati mengizinkan aku memakai komputernya untuk jualan online. Aku menjual tas yang ada di toko Ko Willy di blogku yang kuberi kamarsolusi.com. Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya, setia dalam hal yang kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar lagi.

“Nanti kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”

“Wow! Samuel doain semoga laku. AMIN”

Aku hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang dikenakannya kebesaran.

Aku belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai pakaianku.

**********

“Kamu sikat gigi pakai garam ya?”

Samuel menatapku dengan kebingungan.

“Odolnya habis. Koko belum bisa beli.”

“Ow.”

“Begini caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan menggosokkannya ke gigiku.

“Asin ko!”

Aku tersenyum meski hatiku perih.

“Yah iyalah masa manis.”

**********


“Badanmu panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya. “Kamu sakit ya?”

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya berkerut dan bibirnya mendesah menahan sakit.

Sementara di luar kos, gerimis mulai turun.

Tubuh Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh tubuhnya.

“Kita ke dokter ya?” usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa uang yang cukup. Orang miskin dilarang sakit! Kalau berobat harus pinjam sana-sini buat biaya berobat. Setelah sembuh kerja keras lagi buat bayar hutang.

Aku semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata tertutup rapat.

Aku menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Entah kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu mengenalnya. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara kami.

Sehari tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.

“Woi, mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak saja main masuk!”

“Adik saya sakit, pak?”

Satpam tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia bingung, aku yang pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.

“Bawa saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak begini!”

Ya Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki mobil mewah yang bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku tidak diterima?

Ketika satpam tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan parkir aku langsung menerobos masuk. Aku tetap nekat untuk masuk. Apa pun akan aku lakukan untuk Samuel. Satpam tersebut hanya pasrah dengan sikapku. Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang melihatku basah kuyup tanpa alas kaki. Sandal nyang kupakai tadi putus. Mungkin sudah waktunya untuk diganti.

Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC menusuk hingga tulang sum-sumku.

**********


Empat hari kemudian.

“Hemofilia?” tanyaku kaget.

“Penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromosn X,” ucap dokter muda yang cantik perawakannya memberiku penjelasan.

Aku menggagumi kecantikannya.

“Tapi selama ini tidak ada keanehan yang saya temui, seperti pendarahan yang terus menerus atau terjadi benturan pada tubuhnya yang mengakibatkan kebiru-biruan. Kalau boleh tahu, Samuel mengidap hemofilia A atau Hemofilia B, dok?”

“Begitu ya? Hemofilia B.”

Aku terdiam.

“Tidak hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”

Aku berdiri seperti patung. Samuel yang masih berumur enam tahun mengidap HIV? Ayah atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia pernah menjalani transfusi darah dan ternyata Human Immunodeficiency Virus lolos dalam transfusi darah yang dijalanninya.

Kini aku tahu, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau menampungnya yang sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV juga. Entahlah.

Aku menatap wajah pucat Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang terpasang ditubuhnya. Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata keluh kesah yang keluar dari mulutnya.

Masih jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami berdua ketika mengajaknya makan di KFC di salah satu mal di bilangan Jakarta Barat.

“Samuel pengen kado natal!” Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang menghiasi setiap penjuru mal.

“Mau kado apa?”

“Cuma pengen boneka Tazmania.”

“Nanti koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa harri ini belum ada tas yang laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede.”

“Yang kecil juga ngga apa-apa kok.”

“Tapi jangan lupa berdoa ya.”

“So, pasti!”

Malamnya sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.

“Koko pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”

“Amin!” teriaknya memecah kesunyian malam.

Hatiku miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang tersisa.

“Maafkan koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.

Menit berikutnya.

Dia mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.

“Tuhan… Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”

“Online.” timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.

“Usaha onlinenya. Berkati juga bloknya.”

Aku tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengak pemakaian huruf K dibelakangnya.

“Nama blognya apa ko?”

“Kamarsolusi dot com,” ucapku dengan perlahan-lahan.”

“Berkati kamarsolusi dot kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”

Aku terharu. Aku meneteskan air mataku.

**********

“Ko, aku mau pulang saja!”

“Kenapa sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”

“Tapi aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”

Diam. Sesak.

“Kamu jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”

Tidak ada pilihan selain meminjam uang dengan Ko Willy dengan jaminan gajiku di potong setengah dari seharusnya aku terima setiap bulan.

Sebatang kara seperti ini tidak bisa berharap pertolongan kepada keluarga. Ah, betapa indahnya kalau masih memiliki keluarga. Teman? Ini Jakarta. Uang ngga jatuh dari pohon kayak daun kering. Siapa yang mau memberikan pinjaman kepadaku tanpa jaminan apa-apa yang bisa disita kalau tidak mampu melunasi hutang yang ada? Memberikan pinjaman ke keluarga sendiri saja masih pakai hitung-hitungan. Kalau mau nyumbang harus di ekspos. Berharap kepada manusia memang sering mengecewakan.

“Kamu harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”

“Ko…. Maafkan aku.”

“Kenapa harus minta maaf?”

“Aku sudah merepotkan koko.”

Aku menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko malah senang bisa berkorban buat kamu.”

***********


Segala macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani Samuel. Sudah dua minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti dimasukkan ke dalam tubuhnya.

Setiap hari berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko. Mengobrol, bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.

“Ko, apa artinya meninggal dunia?”

Pertanyaan yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel. Infeksi yang tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal.

“Artinya, kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”

“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.

Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.

“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.”

“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”

Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.

“Aku tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil meneteskan air matanya.

Aku memeluknya.

“Kamu ngga usah mikirin koko ya, sayang! Tuhan pasti menjaga koko.”

“Nanti kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”

Mulutku tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.

**********


Aku membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang terbaring lemah memaksakan senyumannya.

“Ko…”

“Kenapa sayang?”

“Besok aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”

“Ngga apa-apa.”

“Kamu suka ngga bonekanya?”

“Terima… kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”

“Maafkan koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”

“Ko, aku mau… kasih koko… kado.”

Aku tercengang!

“Aku cuma… bisa kasih lagu buat koko…”

Aku mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.

“Ku yakin saat Kau berfirman

Ku menang saat Kau bertindak

Hidupku hanya ditentukan oleh perkataanMu

Ku aman karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu

Bagi Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”

Air mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu tersebut. Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya mujizat itu ada.

“Selamat natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.

“Selamat natal juga sayang.”

“Ko…”

“Iya, sayang!”

“Koko bisa nyanyikan aku lagi malam kudus? Tapi pake bahasa inggris.”

Tanpa berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel.

Silent night, holy night

All is calm and all is bright

Round yon virgin mother and child

Holy infant so tender and mild

Sleep in heavenly peace

Sleep in heavenly peace

Silent night, holy night

Shepherds quake at the sight

Glories stream from Heaven afar

Heavenly hosts sing halleluia

Christ the savior is born

Christ our savior is born

Silent night, holy night

Son of God

Love’s pure light

Radiant beams from thy holy face

With the dawn of redeeming grace

Jesus Lord at thy birth

Jesus Lord at thy birth

Halleluia!

Halleluia!

Halleluia!

Christ the savior is born

Tangan kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam tanganku.

Genggamannya makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.

“Surga menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.


**********

TAMAT


Cerpen ini saya dedikasikan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS), percayalah kalian adalah makluk tuhan yang paling bahagia dan berharga di mata Tuhan dengan keadaan apapun.

“Jauhi virusnya bukan orangnya.”