Jumat, 27 Juli 2012

PENGRAJIN EMAS & KUNINGAN

Di sebuah negeri hiduplah 2 orang pengrajin yang tinggal bersebelahan. Mereka adalah pengrajin emas & pengrajin kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan itu. Mereka mendapatkan keahlian itu secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang dihasilkan: cincin, kalung, gelang dan untaian rantai penghias.

Setiap akhir bulan mereka membawa hasil kerja itu ke kota. Hari pasar, demikian mereka menyebut hari itu. Mereka akan menjual barang-barang logam itu dan membeli keperluan selama sebulan. Beruntunglah pekan depan akan ada tetamu agung datang mengunjungi kota dan bermaksud memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini membuat mereka senang. Para pedagang terdorong untuk membuat lebih banyak lagi hasil kerajinannya agar lebih banyak barang yang dijajakan. Tak terkecuali dua orang pengrajin yang menjadi tokoh kita ini.

Siang-malam terdengar logam ditempa. Tungku-tungku api seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang tak pernah berhenti membara seperti gambaran semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah dihiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang dihasilkan. Hari pasar semakin dekat. Dan, lusa adalah waktu yang tepat untuk berangkat kekota.

Hari pasar telah tiba dan keduanyapun sampai dikota. Hamparan terpal telah digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer berdampingan. Tampaklah barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah saying, ada kontras diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak berkilau. Ulir-ulirnya kasar. Pokok-pokok simpul rantai tak rapi. Seakan pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.

“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa perhiasannya kawannya itu tampak kusam. ‘ Setiap orang akan memilih daganganku, sebab emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi. “Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia buatanku. Aku akan membawa uang lebih banyak darimu.”

Pengrajin kuningan hanya tersenyum. Ketekunannya mengasah logam membuat semua hasil karyanya lebih bersinar. Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperti lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap dipandang mata.

Ketekunan memang mahal. Hampir semua orang yang lewat tak menaruh perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi kalung dan cincin kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang. Merekapun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup membuat mereka tertarik dan mau membelinya. Sekali lagi terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Pengrajin emas tertegun diam dan pengrajin kuningan yang tersenyum senang. Hari pasar usai. Para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itupun telah selesai membereskan dagangan. Dan keduanya mendapatkan pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa ketekunan itu mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalaninya. Ketekunan adalah titian panjang yang licin berliku. Seringkali jalan panjang itu membuat kita tergelincir dan jatuh. Sering pula titian itu menjadi saring penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan diujung simpulnya.

Kita cenderung bekerja tergesa (baru melakukan apabila waktu telah hampir habis), kita juga cenderung melakukan sesuatu tidak sepenuh hati (asal jadi), hal-hal tersebut karena kita tidak memiliki perencanaan dan terlalu terbuai dengan jumlah hasil yang ingin dicapai. Oleh karena itu marilah kita mulai untuk melakukan sesuatu dengan teliti, tekun dan melakukan semuanya dengan sepenuh hati sehingga hasil pekerjaan kita memuaskan baik secara kualitas maupun kuantitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar